Rabu, 28 Juli 2010

Sumber Hukum Internasional

Sumber hukum internasional dapat dimaknai dalam beberapa arti, yaitu sumber hukum material dan sumber hukum formal. Sumber hukum dalam arti material mempersoalkan mengikatnya hukum dan menyelidiki hakikat yang menjadi dasar kekuatan mengikat hukum dalam hukum internasional. Sumber hukum internasional dalam arti formal ialah sumber hukum di mana terdapat ketentuan hukum yang dapat diterapkan sebagai kaidah dalam satu persoalan yang konkret.
Sumber hukum internasional dibahas dengan merujuk pada Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional. Rumusan Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional berbunyi:
1. The Court, whose function is to decide in accordance with international law such disputes as are submitted to it, shall apply:
a. International convention, wether general orparticulkar, establishing rules expressly recognized by the contesting states,
b. International custom as evidence of a general practices accepted as law,
c. The general principles of law recognized by civilized nations,
d. Subject to the provisions of article 59, judicial decisions and the teachings of the mosts highly qualified publicists of the various nations, as subsidiary, means for the determination of rules of law.
2. This provision shall not prejudices the power of the court to decide a case ex aequo et bono, if the parties agree there to.

Merujuk pada Pasal tersebut, Sumber hukum internasional tersebut yaitu :
1) Perjanjian Internasional
Perjanjian internasional yang dalam bahasa Indonesia disebut juga sebagai perjanjian, traktat, ataupun konvensi dalam pengertian umum atau luas merupakan kata sepakat antara dua atau lebih subjek hukum Internasional mengenai suatu objek atau masalah tertentu dengan maksud untuk membentuk hubungan hukum atau melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum internasional. Arti yang lebih sempit dari perjanjian internasional dapat didefinisikan sebagai kata sepakat antara dua atau lebih subjek hukum internasional (negara, tahta suci, kelompok pembebasan, dan organisasi internasional) mengenai suatu objek tertentu yang dirumuskan secara tertulis dan tunduk pada atau yang diatur oleh hukum internasional.
Pasal 2 ayat (1) butir a Konvensi Wina 1969 menegaskan definisi perjanjian internasional sebagai berikut :
treaty means an international agreement concluded between states in written form and governed by international law, wether embodied in a single instrument or in two or more related instrument whatever it is particular designation.

Lebih lanjut dalam Pasal 2 ayat (1) butir a Konvensi Wina 1986, perjanjian internasional dirumuskan sebagai berikut :
treaty means an international agreement governed by international law and concluded in written form :
i. Between one or more States and one or more international organizations ; or
ii. Between internasional organizations, whether that agreement is embodied in a single instrument or in two or more related instrument and whatever it is particular designation.

Berdasarkan pengertian di atas maka dapat dijabarkan beberapa unsur atau kualifikasi yang harus terpenuhi suatu perjanjian untuk dapat disebut sebagai perjanjian internasional, yaitu :
a. kata sepakat
Kata sepakat merupakan unsur yang sangat esensial dari suatu perjanjian, termasuk perjanjian internasional. Tanpa adanya kata sepakat antara para pihak, maka tidak akan ada perjanjian. Kata sepakat inilah yang dirumuskan atau dituangkan di dalam naskah pasal-pasal perjanjian. Pasal-pasal naskah perjanjian itulah yang mencerminkan kata sepakat dari para pihak.
b. subjek-subjek hukum
Subjek-subjek hukum dalam hal ini adalah subjek-subjek hukum internasional yang terikat pada perjanjian. Subjek-subjek hukum internasional yang dapat membuat atau terikat sebagai pihak pada suatu perjanjian internasional adalah Negara, Tahta Suci Vatikan, organisasi internasional, kaum belligerensi, dan bangsa yang sedang memperjuangkan haknya.
c. berbentuk tertulis
Bentuk tertulis ini adalah sebagai perwujudan dari kata sepakat yang otentik dan mengikat para pihak. Kata sepakat itu dirumuskan dalam bahasa dan tulisan yang dipahami dan disepakati para pihak yang bersangkutan. Dengan bentuknya yang tertulis, maka terjamin adanya ketegasan, kejelasan, dan kepastian hukum bagi para pihak maupun juga bagi pihak ketiga yang mungkin pada suatu waktu tersangkut pada perjanjian itu.
d. objek tertentu
Objek dari perjanjian internasional itu adalah objek atau hal yang diatur di dalamnya. Setiap perjanjian pasti mengandung objek tertentu. Objek itu sendiri secara langsung menjadi nama dari perjanjian tersebut.

e. tunduk pada atau diatur oleh hukum internasional
Yang dimaksudkan hukum internasional dalam hal ini adalah baik hukum internasional pada umumnya, maupun hukum perjanjian internasional pada khususnya. Sebagaimana secara umum sudah dipahami bahwa setiap perjanjian melahirkan hubungan hukum berupa hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi para pihak yang terikat pada perjanjian itu. Demikian pula sejak perundingan, untuk merumuskan naskah perjanjian, pemberlakuan, dan pelaksanaannya dengan segala permasalahan yang timbul serta pengakhiran berlakunya perjanjian, seluruhnya tunduk pada hukum internasional maupun hukum perjanjian internasional.

2) Hukum Kebiasaan Internasional
Kebiasaan merupakan sumber hukum yang asli bagi hukum internasional. Kebiasaan dipandang sebagai sumber yang paling tua, akan tetapi pada saat ini kebiasaan tidak lagi dominan sebagaimana pada masa sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh karena makin tingginya aktivitas Komisi Hukum Internasional (ILC) dalam pembentukan traktat multilateral.
Hukum kebiasaan internasional merupakan persetujuan atau konsesnus yang diekspresikan melalui praktik sebagai kebiasaan internasional. Alf Ros memberikan pengertian hukum kebiasaan melalui definisi yang mirip dengan definisi di atas, yaitu “by custom as a source of international law I mean the legal rules which are more or less plainly objectified in the practice of the states.”
Kebiasaan internasional agar dapat menjadi suatu hukum kebiasaan internasional tentunya harus memenuhi persyaratan terlebih dahulu. Oleh para ahli hukum internasional, syarat tersebut disebut sebagai doktrin the two element theory. Elemen tersebut yaitu :
1. Perilaku itu haruslah merupakan fakta dari fakta atau perilaku yang secara umum telah dilakukan atau dipraktikkan oleh negara-negara (the evidence of material fact) ;
2. Perilaku yang telah dipraktikkan secara umum tersebut, oleh negara–negara atau masyarakat internasional, telah diterima atau ditaati sebagai perilaku yang memiliki nilai sebagai hukum yang dalam istilah teknisnya dikenal sebagai opinion juris sive neccesitatis atau singkatnya opini juris.

3) Prinsip–Prinsip Umum Hukum
Prinsip–prinsip umum hukum atau prinsip hukum umum, seperti yang terdapat dalam Pasal 38 ayat (1) butir c Statuta Mahkamah Internasional menyebutkan, bahwa prinsip hukum umum adalah prinsip-prinsip atau asas-asas yang fundamental yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab. Tujuan dari pengakuan akan prinsip-prinsip hukum umum ini pada dasarnya untuk menghindari keadaan yang tak terbatas (open-ended) dan samar-samar. Hal ini kemudian diperkuat oleh pengalaman yang didapati oleh the Advisory Committee of Jurists, sebagai perancang Statuta, yakni suatu keadaan yang di mana tidak terdapatnya jawaban dalam traktat maupun kebiasaan. Hadirnya prinsip-prinsip umum hukum ditujukan untuk dimungkinkannya Pengadilan menggunakan keadilan yang abstrak.
Prinsip-prinsip hukum umum merupakan bagian dari hukum alam yang telah diterima oleh negara-negara. Hal ini mempunyai dua pengertian, yaitu pertama sebagai bagian dari hukum alam, prinsip-prinsip hukum umum merupakan prinsip hukum yang sangat fundamental. Kedua, karena telah diterima (dikonsensuskan) oleh negara-negara, prinsip-prinsip hukum umum akan dapat ditemukan dalam sumber-sumber hukum internasional formal. Dengan demikian, pengertian prinsip-prinsip hukum umum mengacu pada sifat hukum, yaitu sifat fundamental atau mendasar. Sedangkan bentuk hukum dari prinsip-prinsip hukum umum tergantung pada sumber hukum formal di mana ditemukan, sehingga dapat berbentuk sebagai perjanjian internasional, hukum kebiasaan internasional, atau bentuk-bentuk lainnya.

4) Keputusan Hakim (Yurisprudensi) dan Doktrin
Satu-satunya pengadilan yudisial internasional permanen yang ada saat ini yang memiliki yurisdiksi umum adalah International Court of Justice, yang sejak tahun 1946 menggantikan kedudukan Permanent Court of International Justice yang dibentuk pada tahun 1921. Kedua pengadilan tersebut telah mengeluarkan banyak keputusan dan opini nasihat mengenai masalah-masalah internasional penting yang telah memberikan sumbangan terhadap perkembangan yurisprudensi internasional. Akan tetapi tidak semua keputusan dari Pengadilan menciptakan kaidah hukum yang mengikat. Menurut Pasal 59 Statuta Mahkamah Internasional, keputusan-keputusan Mahkamah tidak mempunyai kekuatan mengikat kecuali diantara para pihak dan berkaitan dengan perkara-perkara khusus.
Menurut Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional, walaupun Keputusan Pengadilan dinyatakan sebagai alat tambahan, dalam kenyataannya keputusan tersebut hanya mengikat para pihak yang telah memberikan persetujuannya. Tidak ada tempat untuk menerapkan doktrin preseden dalam hukum internasional, akan tetapi putusan pengadilan telah mendapatkan tempat di para penulis hukum internasional sebagai “authoritative decisions”. Ada pula yang berbentuk pengukuhan atas norma hukum internasional baru dalam keputusan Mahkamah Internasional. Isi, jiwa, semangat yang terkandung di dalamnya kemudian diikuti oleh negara-negara dalam praktik dan ada pula yang diundangkan di dalam perundang-undangan nasionalnya.
Putusan pengadilan lain pun dalam hukum internasional dapat dijadikan sebagai sumber hukum internasional. Pengadilan lain tersebut meliputi pengadilan regional dan nasional. Pengadilan regional yang sangat berpengaruh terhadap hukum internasional adalah putusan pengadilan HAM Eropa (European Court of Human Rights) di Strasbourg yang telah dikenal sebagai salah satu pengadilan regional yang kaya akan yurisprudensinya. Sedangkan bagi putusan pengadilan nasional yang menjadi rujukan dalam hukum internasional antara lain adalah putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam kasus Paquete Habana yang mendemonstrasikan sebuah upaya untuk menyatakan eksistensi sebuah norma kebiasaan.
Selain yurisprudensi, pendapat para sarjana atau doktrin juga sering dipandang sebagai suatu sumber hukum. Walaupun pendapat para sarjana mengenai suatu masalah tertentu bukan merupakan hukum positif, namun seringkali dikutip untuk memperkuat argumentasi tentang adanya atau kebenaran suatu norma. Bahkan pendapat para sarjana tersebut, karena wibawa dan pengaruhnya yang demikian luas, seringkali berkembang menjadi norma hukum positif.

5) Sumber Hukum Lainnya
Sumber sumber hukum lainnya dalam hukum internasional dapat berupa :
a. putusan organ organisasi internasional
Organisasi internasional sebagai suatu lembaga, memiliki organ-organ yang terstruktur menurut kebutuhan organisasi itu sendiri dalam rangka mencapai tujuannya. Supaya semua organ tersebut dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan demi terjalinnya hubungan antar organ-organnya, dibutuhkan adanya peraturan yang berfungsi sebagai aturan permainan (rule of procedure) yang berlaku intern bagi organisasi internasional itu sendiri. Di samping itu ada pula yang berupa kesepakatan-kesepakatan yang mengikat sebagai norma hukum terhadap negara-negara anggotanya. Meskipun tidak memiliki kekuatan mengikat pun resolusi Majelis Umum memiliki nilai-nilai normatif yang dapat dijadikan sebagai awal bagi lahirnya sebuah aturan baru dalam hukum internasional.
b. equity
Prinsip equity merupakan sumber hukum yang merupakan perluasan dari bagian prinsip hukum umum. Namun, penggunaan equity bersifat terbatas hanya dalam keadaan mendesak yakni dalam hal penggunaan hukum umum untuk mendapat keadilan. Secara teoritik, fungsi equity dapat dibagi menjadi tiga, yaitu :
a. Equity dapat digunakan untuk mengadaptasikan ketentuan hukum terhadap fakta-fakta yang terdapat dalam kasus-kasus individual (equity infra legem).
b. Equity ditujukan untuk mengisi kekosongan dalam hukum (equity praeter legem).
c. Equity digunakan sebagai dalih untuk tidak diterapkannya sebuah hukum yang tidak adil (equity contra legem).
Penggunaan equity adalah demi tercapainya keadilan bagi kedua belah pihak. Dikenalnya equity dalam hukum internasional dinyatakan oleh Hakim Hudson dalam kasus The Diversion of the Water from the Meuse, sedangkan equity sendiri dimaksudkan sebagai mekanisme yang seharusnya disyaratkan oleh hukum.
c. kode etik dan moral
Prinsip-prinsip etika dan pertimbangan atas dasar-dasar nilai-nilai kemanusiaan sebenarnya merupakan warisan dari ajaran hukum alam. Nilai atau prinsip etika dan moral universal ini telah berhasil ditanamkan dikalangan masyarakat. Nilai etika dan moral universal di samping mengandung universalitas dan kemuliaan, juga bersifat luwes dan abadi. Nilai etika dan moral merupakan nilai yang mendasar dan fundamental. Karena nila-nilai tersebut luhur dan mulia, maka sifatnya menjadi sangat abstrak dan umum sekali. Niai-nilai luhur dan mulia inilah yang memancar serta fungsinya adalah menjiwai norma-norma hukum maupun norma-norma lainnya, yang secara riil dan nyata berlaku dan mengikat masyarakat internasional.

Selasa, 27 Juli 2010

Pengantar Hukum Internasional

Pada hakikatnya hukum internasional adalah kumpulan ketentuan hukum yang berlakunya dipertahankan oleh masyarakat internasional. Sebagai kumpulan ketentuan hukum, hukum internasional merupakan bagian dari hukum yakni kumpulan ketentuan yang mengatur tingkah laku orang dalam masyarakat yang berlakunya dipertahankan oleh “external power” masyarakat yang bersangkutan. Sama halnya dengan tujuan hukum pada umumnya, hukum internasional bertujuan untuk menciptakan ketertiban dan keadilan dalam masyarakat tempat berlakunya hukum tersebut.
Hukum internasional, karena dinyatakan sebagai kumpulan ketentuan hukum, maka definisi tersebut menolak pendapat bahwa hukum internasional hanyalah moral internasional. Moral adalah kumpulan ketentuan yang mengatur tingkah laku orang yang timbul dari kesadaran orang itu sendiri, dan berlakunya dipertahankan oleh “internal power” yakni hati nurani dan kesadaran orang itu sendiri. Berbeda dengan moral, berlakunya ketentuan hukum dipertahankan oleh “external power” yakni kekuatan yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan.
Hukum internasional dimaknai sebagai hukum internasional publik (de droit international public), yang berbeda dari pengertian hukum perdata internasional (private international law) atau the conflict law.
Lassa Oppenheim, dalam bukunya, Treaties on International Law, menyebutkan bahwa hukum internasional secara sederhana dapat dipahami sebagai seperangkat aturan yang ditujukan dan dibuat oleh Negara-negara berdaulat secara eksklusif. Pengertian yang lebih komprehensif dikemukakan oleh Ivan A. Shearer, bahwa hukum internasional adalah sekumpulan peraturan hukum yang sebagian besar mengatur tentang prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh negara-negara (subjek hukum internasional) dan hubungannya satu sama lain, dan juga meliputi :

a. Aturan-aturan hukum yang berhubungan dengan fungsi-fungsi institusi atau organisasi-organisasi, hubungan diantara institusi dan organisasi-organisasi tersebut, serta hubungan antara institusi dan organisasi-organisasi tersebut dengan negara dan individu-individu; dan

b. Aturan-aturan hukum tertentu yang berhubungan dengan individu-individu yang menjadi perhatian komunitas internasional selain entitas negara.

Menurut Charles Cheny Hyde, seperti yang dikutip oleh J.G Starke, menyebutkan bahwa hukum internasional dapat didefinisikan sebagai keseluruhan hukum yang untuk sebagian besar terdiri dari prinsip–prinsip dan kaidah-kaidah perilaku yang terhadapnya negara-negara merasa dirinya terikat untuk menaati, dan karenanya, benar-benar ditaati secara umum dalam hubungan-hubungan mereka satu sama lain.
Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, yang menganggap bahwa hukum internasional (publik) harus dibedakan dengan hukum perdata internasional. Hukum internasional publik merupakan keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata.